
JAKARTA - Pemerintah Indonesia terus mengupayakan penguatan strategi nasional dalam menghadapi tantangan hepatitis B dan C yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), strategi eliminasi hepatitis dikembangkan secara menyeluruh, meliputi pencegahan, deteksi, pengobatan, serta pemberdayaan masyarakat. Pendekatan komprehensif ini menjadi bagian dari agenda besar untuk memenuhi target global: mengakhiri infeksi dan kematian akibat hepatitis pada 2030.
Direktur Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina Isturini, dalam agenda Temu Media bertajuk "Bergerak Bersama Putuskan Penularan Hepatitis" , menegaskan bahwa hepatitis B dan C memerlukan perhatian khusus karena keduanya dapat berkembang menjadi penyakit kronis. Oleh karena itu, langkah penguatan vaksinasi dan deteksi dini harus menjadi prioritas nasional.
"Untuk hepatitis B dan C, penularannya bisa kronis dan berujung sirosis atau kanker hati. Maka penguatan vaksinasi, deteksi dini, dan pengobatan sangat krusial," ujar Ina.
Baca Juga
Angka Prevalensi Tinggi Perkuat Urgensi Aksi Nasional
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi hepatitis B di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibanding hepatitis C. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 6,7 juta penduduk yang hidup dengan hepatitis B. Sebagai perbandingan, jumlah pengidap hepatitis C mencapai 2,5 juta jiwa.
Perbedaan angka ini menggambarkan tantangan besar bagi upaya eliminasi hepatitis di Indonesia. Penularan yang bersifat kronis serta keterlambatan dalam diagnosis berkontribusi terhadap meningkatnya risiko komplikasi serius, termasuk sirosis dan kanker hati. Dengan jumlah kasus yang besar, peran aktif seluruh komponen bangsa dalam pengendalian hepatitis menjadi sangat penting.
Target Eliminasi Didorong Kolaborasi Multisektor
Ina menyampaikan bahwa keberhasilan program eliminasi hepatitis sangat bergantung pada keterlibatan lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kemenkes terus mendorong keterlibatan organisasi profesi, pemerintah daerah, serta komunitas sipil untuk memperkuat kolaborasi ini. Dengan sinergi yang baik, program nasional ini diharapkan dapat berjalan secara efektif dan merata di seluruh daerah.
"Target kita menurunkan 90 persen infeksi baru dan 65 persen kematian akibat hepatitis pada 2030," kata Ina.
Guna mempercepat capaian tersebut, Kemenkes juga akan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital. Sistem pemantauan dan pelaporan kasus akan diperkuat melalui digitalisasi data agar pelacakan dan intervensi menjadi lebih tepat sasaran. Dengan data yang lebih akurat, program penanganan bisa lebih efisien dan terarah.
Perluasan Akses Layanan dan Perlindungan Tenaga Kesehatan
Selain memperkuat pelacakan dan pengobatan, Kemenkes juga menargetkan perluasan akses terhadap layanan pengobatan hepatitis. Salah satu fokus utama adalah menjangkau fasilitas kesehatan di tingkat kabupaten/kota yang belum memiliki layanan hepatitis berbasis Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurut Ina, peningkatan cakupan layanan sangat penting untuk memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pengobatan. Tidak hanya itu, perlindungan terhadap tenaga kesehatan juga disebut sebagai bagian dari ketahanan sistem kesehatan yang harus diperhatikan.
"Proteksi bagi tenaga kesehatan adalah bagian dari sistem ketahanan kesehatan nasional yang tidak boleh diabaikan,” tambah Ina.
Fokus Skrining Hepatitis B pada Ibu Hamil
Kemenkes menaruh perhatian besar terhadap potensi penularan hepatitis dari ibu ke anak. Untuk itu, skrining hepatitis B terhadap ibu hamil di seluruh wilayah Indonesia ditingkatkan. Langkah ini menjadi bagian penting dari pencegahan penularan vertikal yang dapat menyebabkan bayi lahir dalam kondisi terinfeksi dan berkembang menjadi hepatitis kronis.
"Bayi dari ibu yang reaktif diberikan imunisasi hepatitis B dalam waktu kurang dari 24 jam serta imunoglobulin HBIG," jelas Ina.
Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 49.142 ibu hamil reaktif HBsAg. Dari jumlah tersebut, sekitar 36.285 bayi lahir. Dari bayi-bayi itu, 93 persen telah menerima vaksin HB0 dan imunoglobulin HBIG. Ini merupakan langkah penting dalam memberikan perlindungan awal terhadap risiko infeksi hepatitis pada anak sejak dini.
Ketersediaan Layanan Skrining di Semua Tingkatan
Agar penanganan hepatitis dapat dilakukan secara menyeluruh, Kemenkes menargetkan pelaksanaan skrining dan intervensi dilakukan di seluruh fasilitas layanan kesehatan. Hal ini termasuk rumah sakit, puskesmas, hingga layanan kesehatan tingkat desa seperti bidan.
Ina menekankan pentingnya kerja sama antara semua penyedia layanan agar bayi yang lahir dari ibu reaktif hepatitis B dapat segera mendapatkan intervensi. Jika tidak ditangani secara dini, bayi berisiko tinggi mengalami hepatitis kronis.
"Kalau tidak ditangani, bayi yang terinfeksi bisa berkembang menjadi hepatitis kronis yang membahayakan," katanya.
Kemenkes menetapkan target bahwa paling lambat pada 2030, semua bayi dari ibu reaktif hepatitis sudah menerima paket intervensi lengkap. Cakupan intervensi ini akan didorong melalui peningkatan program deteksi dini seperti Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan penyebaran program vaksinasi hepatitis B yang lebih merata ke seluruh pelosok Indonesia.
Arah Kebijakan Nasional: Pencegahan Lebih Ditekankan
Ke depan, kebijakan pemerintah dalam penanggulangan hepatitis akan semakin berfokus pada aspek preventif. Edukasi masyarakat, promosi kesehatan, serta kampanye publik menjadi bagian penting dari strategi nasional. Program-program promotif ini diyakini dapat mencegah penularan hepatitis sebelum berkembang menjadi penyakit kronis.
Dengan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, tenaga medis, dan masyarakat, serta didukung oleh sistem informasi digital yang kuat, Indonesia optimis mampu mewujudkan target eliminasi hepatitis pada 2030.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.