
JAKARTA - Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 yang menetapkan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan secara daring. Kebijakan ini merupakan langkah strategis yang diambil untuk memastikan perlakuan pajak yang adil bagi pelaku usaha, khususnya UMKM, baik yang beroperasi secara offline maupun online. Dengan regulasi ini, pemerintah ingin menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak di sektor e-commerce yang semakin berkembang pesat.
Perlakuan Pajak yang Setara antara Penjual Daring dan Luring
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan bahwa kebijakan ini adalah bentuk penerapan prinsip keadilan dalam perpajakan UMKM. Selama ini, pengusaha yang berjualan secara offline sudah diwajibkan membayar pajak berdasarkan omzet tertentu. Namun, pelaku usaha online seringkali belum terkena aturan serupa secara konsisten.
Baca JugaKesadaran Hukum Masyarakat Didorong Lewat Kampanye Judi Online
“Pengusaha UMKM dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar diwajibkan membayar pajak sebesar 0,5 persen dari omzet. Kebijakan ini memang sebaiknya berlaku untuk penjual, baik daring maupun luring,” ujar Huda. Kebijakan ini menegaskan tidak ada perlakuan istimewa bagi penjual online yang omzetnya sudah melampaui batas yang ditetapkan.
Selain itu, Huda menambahkan bahwa tujuan utama kebijakan ini bukan semata untuk mengejar penerimaan negara, melainkan lebih pada menciptakan level playing field yang adil di antara pelaku usaha. Prinsip keadilan ini diharapkan dapat meningkatkan rasa kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem perpajakan nasional.
Dukungan dan Tantangan dari Pelaku Industri E-Commerce
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyambut baik kebijakan baru ini karena dianggap mampu memperkuat kepatuhan pajak di sektor e-commerce. Namun, idEA meminta adanya masa transisi selama satu tahun agar pelaku usaha, terutama UMKM, memiliki waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru.
Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, menjelaskan tantangan utama yang dihadapi adalah proses administratif yang cukup rumit. Salah satunya adalah kewajiban mencetak surat pernyataan omzet yang harus ditandatangani dan diberi meterai sebelum diunggah ke sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui marketplace. Proses ini membutuhkan edukasi dan kesiapan sistem dari semua pihak agar pelaksanaan aturan tidak mengganggu aktivitas bisnis.
Budi juga menegaskan bahwa Peraturan Menteri Keuangan ini bukan pungutan pajak baru, melainkan hanya mengatur mekanisme pemungutan yang sudah ada. Marketplace berperan sebagai pemungut pajak, bukan sebagai pihak yang menambah beban baru bagi pelaku usaha. Namun demikian, ada tantangan teknis dan administratif yang harus diantisipasi untuk memastikan kebijakan dapat berjalan dengan baik.
Dampak Kebijakan Terhadap Pelaku UMKM
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 90 persen pelaku usaha e-commerce memiliki omzet tahunan di bawah Rp500 juta, sehingga mereka tidak langsung terdampak oleh kebijakan pemungutan pajak baru ini. Bahkan, 82,97 persen pelaku usaha memiliki pendapatan kurang dari Rp300 juta per tahun.
Dengan demikian, kebijakan ini hanya memengaruhi sebagian kecil pelaku usaha yang omzetnya sudah melampaui ambang batas yang ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tetap memperhatikan keberadaan UMKM kecil agar tidak terbebani secara berlebihan.
Namun, Huda mengingatkan pentingnya sinkronisasi data agar pelaku usaha yang sudah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan rutin melaporkan pajak tidak dikenakan pajak ganda. “Kalau sudah terdaftar dan rutin lapor pajak, mereka sebaiknya dikecualikan,” tegasnya.
Pentingnya Sinergi dan Edukasi untuk Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pemungutan pajak di e-commerce memerlukan sinergi antara pemerintah, marketplace, dan asosiasi pelaku usaha agar pelaksanaannya berjalan lancar dan tidak menimbulkan hambatan bagi UMKM. Edukasi yang menyeluruh sangat penting untuk membantu pelaku usaha memahami kewajiban perpajakan dan bagaimana cara memenuhi persyaratan administratif.
Selain itu, penguatan sistem teknologi informasi juga menjadi kunci keberhasilan agar proses pelaporan dan pembayaran pajak dapat dilakukan dengan mudah dan efisien. Dengan kesiapan ini, diharapkan kebijakan dapat mendorong tingkat kepatuhan pajak yang lebih tinggi tanpa mengganggu kelancaran bisnis digital yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Mewujudkan Sistem Pajak yang Adil dan Inklusif
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam upaya pemerintah membangun sistem perpajakan yang inklusif dan adil di era digital. Dengan menerapkan mekanisme pemungutan pajak yang sama bagi pelaku usaha offline maupun online, pemerintah berkomitmen menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan.
Kebijakan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga membangun fondasi ekonomi digital yang lebih kuat dan transparan. Dengan demikian, UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional dapat tumbuh dengan dukungan sistem perpajakan yang mendukung keberlangsungan usaha mereka.
Pelaksanaan kebijakan ini harus terus dipantau dan dikaji agar tetap responsif terhadap kebutuhan pelaku usaha dan perkembangan teknologi digital. Sinergi dan edukasi yang berkelanjutan akan menjadi kunci sukses kebijakan ini, sehingga keadilan pajak bagi UMKM dapat benar-benar terwujud dan memberikan manfaat luas bagi perekonomian Indonesia.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
HP Samsung Kamera 0.5 Terbaik 2025
- 18 Juli 2025
2.
iPhone 17 Hadir dalam Warna Baru
- 18 Juli 2025
3.
Oppo Reno 14F 5G Tawarkan Fitur Unggulan
- 18 Juli 2025
4.
Smartwatch Xiaomi Murah, Fitur Tetap Lengkap
- 18 Juli 2025