
JAKARTA - Kesalahpahaman dalam penanganan demam pada anak masih banyak ditemukan di kalangan masyarakat. Tidak jarang, demam tinggi langsung diartikan sebagai infeksi bakteri oleh orang tua, sehingga mendorong penggunaan antibiotik secara tergesa-gesa. Padahal, tidak semua kasus demam memerlukan antibiotik sebagai solusi.
Dokter Spesialis Anak, Rinawati Rohsiswatmo, menjelaskan bahwa demam pada anak bisa disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya infeksi bakteri. Oleh sebab itu, menurutnya, pemberian antibiotik harus berdasarkan pemeriksaan medis terlebih dahulu dan tidak boleh sembarangan diberikan.
“Periksa darah dulu, jangan langsung kasih antibiotik,” ujar Rina dalam sesi diskusi publik bertajuk Dua Generasi, Satu Ancaman: Pentingnya Cegah RSV, yang diselenggarakan di Jakarta.
Baca Juga
Pesan tersebut ditujukan kepada orang tua maupun tenaga medis agar tidak buru-buru mengambil langkah pengobatan sebelum ada diagnosa yang jelas. Pemberian antibiotik yang tidak sesuai indikasi dapat menimbulkan dampak jangka panjang seperti resistensi antibiotik yang saat ini menjadi salah satu isu kesehatan global.
Pemeriksaan Laboratorium Jadi Langkah Awal
Rina menegaskan pentingnya pemeriksaan darah sebagai dasar penanganan demam. Hanya dengan hasil laboratorium, dokter bisa menentukan apakah infeksi yang terjadi bersifat bakteri atau virus. Sayangnya, masih banyak orang tua yang langsung mengambil tindakan medis intensif seperti rawat inap tanpa melalui tahapan pemeriksaan dasar.
Ia menambahkan, “Setelah pandemi, kita makin sadar demam bisa akibat virus. Maka pemeriksaan darah sebaiknya dilakukan dulu."
Penjelasan ini mengacu pada banyaknya kasus infeksi virus yang memunculkan gejala demam, tetapi tidak membutuhkan antibiotik. Oleh sebab itu, edukasi kepada masyarakat sangat penting agar bisa lebih memahami bahwa demam bukan indikator mutlak infeksi bakteri.
Penggunaan antibiotik tanpa pemeriksaan yang akurat hanya akan memperburuk situasi. Selain meningkatkan risiko resistensi, juga membuat anak tidak mendapat terapi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Waspadai Penyebaran Virus RSV
Dalam kesempatan yang sama, Rinawati juga menyoroti meningkatnya penyebaran Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang kini banyak menyerang anak-anak di Indonesia. RSV dikenal sebagai virus yang menyerang saluran pernapasan bagian bawah dan bisa menyebabkan komplikasi serius pada bayi dan balita.
“Gejalanya bisa ringan di awal, lalu berkembang jadi parah,” ucap Rina.
RSV menjadi lebih berbahaya pada bayi berusia di bawah enam bulan, karena sistem imunitas mereka belum berkembang sempurna. Anak-anak dalam kelompok ini sangat rentan mengalami kondisi seperti bronkiolitis dan pneumonia, yang bisa berujung pada perawatan intensif di rumah sakit.
Bayi yang lahir prematur atau memiliki penyakit bawaan pun termasuk dalam kelompok risiko tinggi. Infeksi RSV yang berkembang cepat bisa membuat bayi kesulitan bernapas dan memerlukan bantuan alat medis.
“Banyak pasien bayi RSV bahkan membutuhkan ICU dan alat bantu napas,” lanjut Rina.
Biaya Penanganan RSV yang Tidak Murah
Dampak dari infeksi RSV tidak hanya berat dari segi medis, tetapi juga dari sisi ekonomi. Menurut Rina, salah satu bentuk terapi yang digunakan untuk melawan RSV adalah antibodi monoklonal. Namun, terapi ini membutuhkan biaya yang sangat besar.
“Biayanya bisa mencapai Rp100 juta per pasien,” ujarnya.
Biaya yang tinggi ini tentu menjadi beban tambahan bagi keluarga pasien. Maka dari itu, penting untuk melakukan langkah pencegahan yang tepat sebelum anak-anak terpapar virus berbahaya tersebut. Pencegahan jauh lebih murah dan lebih efektif dibandingkan pengobatan setelah infeksi terjadi.
Vaksinasi Ibu Hamil sebagai Solusi Pencegahan
Salah satu upaya pencegahan yang disarankan oleh Rinawati adalah pemberian vaksin RSV kepada ibu hamil. Vaksinasi ini dinilai efektif jika dilakukan pada trimester ketiga masa kehamilan, saat tubuh ibu siap menyalurkan antibodi pelindung kepada janin.
“Rinawati pun mendorong vaksinasi pada ibu hamil sebagai bentuk perlindungan dini terhadap bayi. Vaksin RSV dinilai efektif jika diberikan pada trimester ketiga kehamilan,” jelasnya.
Dengan cara ini, bayi akan mendapatkan perlindungan pasif terhadap RSV sejak dilahirkan, mengingat bayi baru lahir belum bisa langsung divaksin. Ini merupakan strategi pencegahan dini yang sangat potensial untuk menekan risiko penularan RSV pada populasi bayi.
Kolaborasi dan Edukasi Jadi Kunci Utama
Rina menekankan perlunya kerja sama antara tenaga medis, pemerintah, dan masyarakat dalam mengedukasi orang tua soal penanganan demam dan pencegahan infeksi. Edukasi yang tepat akan membantu masyarakat mengambil keputusan medis berdasarkan informasi yang benar, bukan hanya karena panik.
Ia mengingatkan kembali bahwa demam bukan musuh, tetapi sinyal tubuh sedang melawan sesuatu. Menyikapi demam secara bijak dan ilmiah akan membantu anak pulih dengan aman dan efektif.
Penanganan demam yang salah, seperti langsung memberi antibiotik tanpa diagnosa, harus dihentikan. Edukasi luas dan berkelanjutan menjadi senjata utama dalam membentuk generasi orang tua yang sadar akan pentingnya pengobatan berbasis bukti medis.
Dengan langkah-langkah pencegahan yang tepat dan kesadaran yang meningkat, anak-anak Indonesia akan memiliki perlindungan lebih baik dari penyakit infeksi, termasuk RSV. Dan yang paling penting, masyarakat akan semakin paham bahwa tidak semua demam harus ditangani dengan antibiotik.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
PT PP Garap Proyek Bendungan Cibeet Paket II
- 07 Agustus 2025
2.
PLN Tetapkan Tarif Listrik Agustus 2025 Tanpa Kenaikan
- 07 Agustus 2025
3.
MIND ID Bangun Industri Baterai EV Terintegrasi
- 07 Agustus 2025
4.
Kereta Stainless Steel KAI Agustus 2025 dan Rutenya
- 07 Agustus 2025
5.
Kelas 1 dan 2 BPJS Bisa Akses Layanan VIP
- 07 Agustus 2025