JAKARTA - Pelestarian budaya daerah dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk melalui pengenalan simbol budaya ke dalam elemen kehidupan sehari-hari. Salah satu wujud penghargaan terhadap warisan budaya Toraja itu ditunjukkan lewat langkah simbolik Bank Indonesia (BI) yang mempersembahkan memorabilia uang pecahan Rp 5.000 bergambar Tongkonan kepada Pemerintah Kabupaten Toraja Utara.
Momentum bersejarah ini berlangsung dalam rangkaian puncak perayaan Hari Ulang Tahun ke-17 Kabupaten Toraja Utara, yang dipusatkan di Lapangan Bakti, Rantepao. Dalam acara tersebut, Kepala Kantor Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, Rizky Ernadi Wimanda, menyerahkan langsung memorabilia tersebut kepada Bupati Toraja Utara, Frederik Victor Palimbong.
Momen penyerahan ini bukan hanya bersifat seremonial, tetapi membawa makna mendalam tentang pentingnya menjaga identitas budaya lokal, sekaligus mengenang nilai sejarah yang terkandung dalam desain uang emisi lama itu.
Representasi Identitas Budaya Lewat Uang
Uang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga dapat menjadi medium dokumentasi budaya bangsa. Pecahan Rp 5.000 emisi tahun 1980 yang menampilkan tiga rumah adat Tongkonan di bagian belakangnya menjadi bukti nyata dari pengakuan atas kekayaan budaya Toraja.
Tongkonan, rumah adat masyarakat Toraja yang sarat nilai historis dan filosofis, dipilih sebagai bagian dari desain mata uang karena mewakili kekuatan tradisi dan warisan leluhur. Tak heran bila uang ini mendapat tempat istimewa di hati masyarakat Toraja, meskipun kini tak lagi beredar sebagai alat pembayaran yang sah.
BI menjadikan uang tersebut sebagai memorabilia, yaitu benda yang dikenang dan dikaitkan dengan peristiwa, tokoh, atau simbol tertentu. Sebagaimana disampaikan Rizky Ernadi Wimanda, langkah ini menjadi bentuk penghormatan terhadap nilai budaya serta mendorong masyarakat untuk terus menjaga dan merawat warisan leluhur mereka.
Harapan untuk Disimpan di Museum Toraja
Rizky menyatakan bahwa memorabilia ini diharapkan bisa disimpan secara permanen di museum yang ada di Toraja. Dengan demikian, masyarakat luas, termasuk generasi muda, dapat melihat langsung jejak budaya mereka yang sempat diabadikan melalui media uang.
“Memorilibia ini bisa dilihat dan dikenang oleh masyarakat. Harapannya dapat meningkatkan rasa cinta kepada Indonesia, juga Toraja,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan, memorabilia ini bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi bisa menjadi alat edukasi budaya dan pariwisata. Semakin banyak masyarakat yang mengenal nilai budaya lokal, maka semakin tinggi pula kesadaran untuk menjaga dan melestarikannya.
Langkah ini juga dinilai sebagai bentuk kontribusi BI dalam memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia, melalui objek yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: uang kertas.
Tongkonan dan Jejak Internasionalnya
Bagi masyarakat Toraja, Tongkonan bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol status sosial, sejarah keluarga, dan pusat aktivitas adat. Ketika gambar tiga Tongkonan dipilih untuk dicetak di uang pecahan Rp 5.000 tahun 1980, hal itu dilakukan bukan tanpa alasan.
Pemilihan gambar tersebut berkaitan erat dengan peristiwa penting yang terjadi di Tana Toraja pada awal 1970-an, yaitu pemakaman Rambu Solo’ Puang Sangalla’ dan Puang Laso’ Rinding. Peristiwa adat ini menarik perhatian dunia internasional dan didokumentasikan oleh salah satu media ternama dunia, National Geographic.
Upacara pemakaman yang berlangsung di Suaya, Tana Toraja, menjadi sorotan global dan membuka jalan bagi pariwisata Toraja menuju panggung dunia. Sejak saat itu, Toraja dikenal luas sebagai destinasi budaya yang unik dan kaya.
Karena peristiwa inilah, Bank Indonesia memilih untuk mengabadikan gambar Tongkonan di uang kertas. Ini menjadi bentuk penghormatan atas nilai budaya dan sejarah yang membawa pengaruh besar, bukan hanya bagi masyarakat Toraja, tetapi juga terhadap citra Indonesia di mata dunia.
Simbol yang Hidup dalam Kenangan Kolektif
Memorabilia uang pecahan Rp 5.000 bukan hanya menyentuh sisi ekonomi atau koleksi numismatik, tapi juga menggugah perasaan nostalgia masyarakat terhadap masa ketika uang itu masih beredar. Dalam masyarakat Toraja, gambar Tongkonan di uang kertas itu telah lama menjadi kebanggaan tersendiri.
Meski kini tidak lagi digunakan dalam transaksi, benda itu tetap hidup dalam kenangan kolektif sebagai simbol penghargaan terhadap kearifan lokal.
Memorabilia seperti ini memperlihatkan bagaimana budaya dan sejarah dapat dibingkai secara elegan melalui media nonkonvensional. Bank Indonesia menggunakan pendekatan ini untuk merangkul komunitas lokal, menyemangati pelestarian budaya, sekaligus memberikan pesan kuat bahwa budaya Indonesia adalah bagian dari identitas nasional yang patut dikenang.
Penguatan Citra Budaya dan Pariwisata
Rizky berharap langkah ini juga mampu memperkuat citra Toraja sebagai daerah yang kaya akan kebudayaan dan adat istiadat, serta menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara. Ketika masyarakat dan pemangku kepentingan lokal dapat melihat bahwa kekayaan budaya mereka mendapat pengakuan, akan tumbuh pula rasa bangga dan tanggung jawab untuk menjaganya.
Dengan menjadikan memorabilia sebagai bagian dari narasi budaya daerah, BI menunjukkan bahwa lembaga keuangan pun dapat memainkan peran penting dalam pelestarian warisan budaya nasional. Terlebih lagi ketika benda itu menyimpan nilai historis yang berkaitan dengan tonggak penting perkembangan daerah.
Simbol Kecil, Makna Besar
Di balik selembar uang kertas yang mungkin tampak sederhana, tersimpan kisah panjang dan mendalam tentang identitas sebuah bangsa. Dalam hal ini, tiga Tongkonan yang dicetak di uang pecahan Rp 5.000 menjadi penanda kuat dari semangat pelestarian budaya yang tidak lekang oleh waktu.
Melalui memorabilia ini, masyarakat diajak untuk melihat uang tidak sekadar sebagai alat ekonomi, tetapi juga sebagai sarana merawat kenangan dan memperkuat ikatan dengan sejarah.
Jika langkah seperti ini terus digalakkan, bukan tidak mungkin nilai-nilai lokal yang selama ini tersembunyi akan mendapat panggung yang lebih luas, baik secara nasional maupun global. Tongkonan di lembar uang itu mungkin telah hilang dari peredaran, tapi tidak dari ingatan kolektif bangsa.